Senin, 29 September 2014

PSAK Akuntansi Syariah, Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)



Makalah Akuntansi Syariah
PSAK Akuntansi Syariah, Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
                           Sabtu, 17 Mei 2014
Description: E:\fitri salsabila\data\HEM dock\FIKS\wii logo.png

Yusriati Alifah
Akuntansi smt 4


PSAK Akuntansi Syariah
Laporan Keuangan Syariah adalah suatu laporan keuangan yang dibuat oleh entitas syariah untuk digunakan sebagai pembanding baik dengan laporan keuangan sebelumnya atau laporan keuangan lainnya. Laporan keuangan yang lengkap terdiri dari :
a. Neraca
b. Laporan Laba Rugi
c. Lapaoran Arus Kas
d. Laporan Perubahan Equitas
e.Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat
f. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan
g. Catatan Atas Laporan Keuangan
Prinsip universalisme dalam PSAK 101 terdapat pada ruang lingkupnya dimana laporan keuangan dapat digunakan untuk kebutuhan bersama bagi semua pihak yang berkepentingan yang melakukan transaksi syariah. Hal ini sesuai dengan PSAK 101 Prgf.4 : Laporan keuangan bagi tujuan umum adalah laporan keuangan yang ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar pengguna laporan. Laporan keuangan bagi tujuan umum termasuk juga laporan keuangan yang disajikan terpisah atau yang disajikan dalam dokumen publiklainnya seperti laporan tahunan/prospektus.Pernyataan ini berlaku pula untuk laporan keuangan konsolidasian.
            Prinsip universalisme juga terlihat pada Laporan Sumber Dan Penggunaan Dana Zakat. PSAK 101 Prgf. 71 menyatakan bahwa Zakat adalah sebagian harta yang wajib dikeluarkan oleh wajib zakat dan diserahkan kepada penerima zakat . Pembayaran zakat dilakukan apabila nisab dari harta yang memenuhi kriteria wajib zakat.
Laporan Sumber Dan Penggunaan Dana Kebajikan seperti pada PSAK 101 Prgf.75 juga menyatakan bahwa adanya penerimaan dari infaq, sedekah, denda yang diperoleh dari nasabah untuk diberikan kepada penerima dana kebajikan.  Hal ini menjelaskan bahwa dengan adanya zakat, infaq, denda, sedekah prinsip universalisme dapat terlihat dimana semua orang muslim yang mempunyai harta berlebih wajib mengeluarkan zakat tanpa terkecuali sebagaimana juga dijelaskan dalam Al-Qur’an. Begitupun dengan nasabah yang melakukan kesalahan/ kelalaian usaha tanpa terkecuali wajib membayar denda dan diserahkan kepada yang wajib menerimanya.
Transaksi perbankan syariah juga dapat dilakukan dengan mata uang asing/ orang berkebangsaan asing tanpa terkecuali. Hal ini menunjukan adanya prinsip universalisme dalam transaksi perbankan syariah. Seperti pada PSAK 101 Prgf. 87 yang menyatakan bahwa Untuk setiap jenis instrumen pendanaan dalam mata uang asing, entitas syarah harus mengungkapkan informasi berikut ini :
a. karakteristik umum dari setiap instrumen pendanan termasuk informasi mengenai nisbah bagi hasil/ margin/ ujroh dan nama pemodal.
b. nilai Prgfminal dalam mata uang asing, jangka waktu, tanggal jatuh tempo, jadwal angsuran dan pembayaran.
c. dasar konversi menjadi efek lain jika instrumen pendanaan dapat dikonversi.
d. nilai kurs yang digunakan pada tanggal neraca
e. jaminan
f. hal penting lainnya.

1.    PSAK 102 (Akuntansi Murabahah)
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli (PSAK 102 Prgf 5). Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan/ tanpa pesanan.
Murabahah dilakukan oleh pihak-pihak yang berkaitan seperti adanya pihak penjual dan pihak pembeli yang melakuakan transaksi syariah yang juga diatur dalam PSAK 102 secara keseluruhan. Hal ini terdapat dalam PSAK 102 Prgf2 : Pernyataan ini diterapkan untuk:
(a) lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah yang melakukan transaksi murabahah baik sebagai penjual maupun pembeli; dan
(b) pihak-pihak yang melakukan transaksi murabahah dengan lembaga keuangan syariah atau koperasi syariah.
Penjualpun memiliki kewajiban dalam transaksi murabahah seperti yang tercantum dalam PSAK 102 Prgf 21 : Kewajiban penjual kepada pembeli atas pengembalian diskon pembelian akan tereliminasi pada saat:
(a) dilakukan pembayaran kepada pembeli sebesar jumlah potongan setelah dikurangi dengan biaya pengembalian; atau
(b) dipindahkan sebagai dana kebajikan jika pembeli sudah tidak dapat dijangkau oleh penjual.
Hal ini menyatakan bahwa semua penjual tanpa terkecuali memiliki kewajiban- kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan PSAK tersebut.
Pembeli dalam murabahah tanpa terkecuali jika melakukan kesalahan/ kelalaian akan dikenakan denda sesuai dengan akad. PSAK 102 Prgf.35 : Denda  yang dikenakan akibat kelalaian dalam melakukan kewajiban sesuai dengan akad diakui sebagai kerugian.
Semua transaksi murabahah, dimana penjual memberikan potongan uang muka kepada pembeli namun di akhir perjanjian akad tersebut batal maka potongan uang muka tersebut diakui sebagai kerugian. Hal ini dijelaskan dalam PSAK 102 Prgf 36 : Potongan uang muka akibat pembeli akhir batal membeli barang diakui sebagai kerugian.  


2.    PSAK 103 (Akuntansi Salam)
            PSAK 103 Prgf. 1 : Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan transaksi salam. PSAK 103 Prgf.2 : Pernyataan ini diterapkan untuk entitas yangmelakukan transaksi salam, baik sebagai penjual ataupembeli. PSAK 103 Prgf. 4 : Salam adalah akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman di kemudian hari oleh penjual (muslam illaihi) dan pelunasannya dilakukan oleh pembelipada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarattertentu. Hal ini menjelaskan bahwa semua pihak yang berkepentingan tanpa terkecuali  dapat melakukan akad salam sesuai dengan PSAK 103.
PSAK 103 Prgf. 14 : Denda yang diterima oleh pembeli di akui sebagai bagian dana kebajikan. Hal ini menunjukan bahwa denda tersebut ditujukan untuk pihak penerima dana kebajikan secara menyeluruh. Dana denda juga berasal dari pihak yang lalai dalam melakukan kewajibannya, hal ini ditujukan kepada semua pihak yang berkepentingan dalam transaksi salam.
Bagi penjual apabila pembeli telah memberikan modal usahanya maka diakui sebagai kewajiban salam dimana besarnya sesuai dengan modal yang diterima. Hal ini terdapat dalam  PSAK 103 Prgf. 17 : Kewajiban salam diakui pada saat penjual menerima modal usaha salam sebesar modal usaha salam yang diterima.

3.    PSAK 104 (Akuntansi Istishna)    
PSAK 104 Prgf. 5 : Istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual. Hal ini menunjukan bahwa istishna dapat dilakukan oleh dan untuk semua pihak yang berkepentingan tanpa membedakan apapun.
PSAK 104 Prgf 6 : Berdasarkan akad istishna’, pembeli menugaskan penjual untuk menyediakan barang pesanan (mashnu’) sesuai spesifikasi yang disyaratkan untuk diserahkan kepada pembeli, dengan cara pembayaran dimuka atau tangguh. Semua penjual dalam transaksi istishna diharuskan untuk menyediakan barang sesuai dengan karakteristik pesanan pembeli jika pembeli tersebut telah membayar uang muka atau uang tangguh.
                        Akad istishna akan selesai apabila proses pembuatan barangnya telah selesai dan telah diserahkan kepada pembeli seperti yang terdapat dalam PSAK 104 Prgf. 17 : ……… Akad selesai adalah jika proses pembuatan barang pesanan selesai dan diserahkan kepada pembeli.

4.    PSAK 105 (Akuntansi Mudharabah
            PSAK 105 Prgf. 4 : Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama/ pemilik dana menyediakan seluruh dana sedangkan pihak kedua/ pengelola dana bertindak sebagai pengelola dan keuntungan dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana. Hal ini menunjukan bahwa semua pihak yang berkepentingan dapat berperan sebagai pihak pemilik dana dan pengelola dana dalam akad mudharabah.
Jika pengelola dana melakukan kelalaian dalam transaksi mudharabah diakui sebagai kerugian dan diakui sebagai beban pengelola dana. Terdapat dalam PSAK 105 Prgf 30 : Kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian pengelola dana diakui sebagai beban pengelola dana.
Semua pemilik dana juga wajib membuat penyajian laporan keuangan seperi pada PSAK 105 Prgf 36 : Pemilik dana menyajikan investasi mudharabah dalam laporan keuangan sebesar nilai tercatat.
Semua pengelola dana dalam transaksi mudaharabah wajib menyajikan transaksi mudharabah dalam laporan keuangannya seperti yang tercantum dalam PSAK 105 Prgf 37: Pengelola dana menyajikan transaksi mudharabah dalam laporan keuangan :
a. Dana syirkah temporer dari pemilik dana disajikan sebesar nilai tercatatnya untuk setiap jenis mudharabah ;
b. Bagi hasil dana syirkah temporer yang sudah diperhitungkan tetapi belum diserahkan kepada pemilik dana disajikan sebagai pos bagi hasil yang belum dibagikan di kewajiban.

5.    PSAK 106 (Akuntansi Musyarakah)
            PSAK 106 Prgf. 4 : Musyarakah adalah akad kerjasama antara 2 pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan kontribusi dana. Dana tersebut meliputi kas atau aset Prgfn kas yang diperkenankan oleh syariah. Hal ini menunjukan bahwa semua pihak yang berkepentingan dapat melakukan akad musyarakah.
Dalam transaksi musyarakah, semua pihak baik bank maupun pengelola wajib mengeluarkan dana modal untuk melakukan usaha musyarakah. Oleh karena itu jika terjadi kerugian ditanggung oleh kedua pihak tersebut sesuai dengan porsi dana masing-masing. Sesuai dengan PSAK 106 Prgf 24 : Kerugian investasi musyarakah diakui sesuai dengan porsi dana masing-masing mitra dan mengurangi nilai aset musyarakah.
Akan tetapi jika kerugian terjadi akibat kelalaian pengelola usaha maka kerugian tersebut hanya ditanggung oleh pengelola usaha tersebut. Tercantuh dalam PSAK 106 Prgf 25 : Jika kerugian akibat kelalaian atau kesalahan mitra aktif atau pengelola usaha, maka kerugian tersebut ditanggung oleh mitra aktif atau pengelola usaha musyarakah.
Semua mitra aktif juga wajib melakukan pelaporan keuangan seperti pada PSAK 106 Prgf 35 : Mitra aktif menyajikan hal-hal sebagai berikut yang terkait dengan usaha musyarakah dalam laporan keuangan:
(a) Kas atau aset nonkas yang disisihkan oleh mitra aktif dan yang diterima dari mitra pasif disajikan sebagai investasi musyarakah;
(b) Aset musyarakah yang diterima dari mitra pasif disajikan sebagai unsur dana syirkah temporer untuk;
(c) Selisih penilaian aset musyarakah, bila ada, disajikan sebagai unsur ekuitas.
Semua mitra pasif juga wajib menyajikan laporan keuangan tanpa terkecuali seperti pada PSAK 106 Prgf 36 : Mitra pasif menyajikan hal-hal sebagai berikut yang terkait dengan usaha musyarakah dalam laporan keuangan:
(a) Kas atau aset nonkas yang diserahkan kepada mitra aktif disajikan sebagai investasi musyarakah;
(b) Keuntungan tangguhan dari selisih penilaian asset nonkas yang diserahkan pada nilai wajar disajikan sebagai pos lawan (contra account) dari investasi musyarakah.

6.    PSAK 107 (Akuntansi Ijarah)
PSAK 107 Prgf.4 : Ijarah adalah akad pemindahan hak guna/ manfaat atas suatu assets dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Sewa yang dimaksud adalah sewa operasi/ operating lease. PSAK 107 Prgf. 5 : Ijarah merupakan sewa menyewa obyek ijarah tanpa pemindahan resiko dan manfaat yang terkait dengan pemindahan aset terkait, dengan atau tanpa wa’ad untuk memindahkan kepemilikan dari pemilik kepada penyewa pada saat tertentu. Hal ini menunjukan bahwa akad ijarah dapat dilakukan oleh semua pihak(pemilik aset dan penyewa) yang berkepentingan tanpa terkecuali.
Semua keuntungan dan kerugian tidak diakui sebagai pengurang atau penambah beban ijarah seperti pada PSAK 107 Prgf 27 : Keuntungan atau kerugian yang timbul dari transaksi jual dan ijarah tidak dapat diakui sebagai pengurang atau penambah beban ijarah.
7.    PSAK 108 (Akuntansi Transaksi Asuransi Syariah)
         PSAK 108 Prgf. 7 : Asuransi syariah adalah sistem menyeluruh yang pesertanya mendonasikan sebagian atau seluruh kontribusinya yang digunakan untuk membayar klaim atas resiko tertentu akibat musibah pada jiwa, badan, atau benda yang dialami peserta yang berhak. Donasi tersebut merupakan donasi dengan syarat tertentu dan merupakan milik peserta secara kolektif bukan merupakan pendapatan entitas pengelola. Hal ini menunjukan bahwa semua pihak yang berkepentingan tanpa terkecuali dapat menjadi peserta asuransi syariah.
Dalam asuransi syariah memiliki prinsip dasar sebagaimana dalam PSAK 108 Prgf 8 : Prinsip dasar dalam asuransi syariah adalah saling tolong menolong (ta’awuni) dan saling menanggung (takafuli) antara sesama peserta asuransi.
PSAK 108 Prgf 13 : Dana peserta adalah semua dana baik berupa dana tabarru’ maupun dana investasi (Dana peserta tersebut mencakup semua dana peserta asuransi syariah tanpa terkecuali).








Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI)
Akuntansi dan Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) adalah organisai internasional Islam non-badan hukum nirlaba yang menyiapkan standar akuntansi, audit, pemerintahan, etika dan standar Syariat Islam lembaga keuangan dan industri. Program kualifikasi profesional (terutama CIPA, Penasihat syariat dan Auditor "CSAA", dan program kepatuhan perusahaan) yang disajika oleh AAOIFI dalam upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia industri dasar dan struktur pemerintahan. 

AAOIFI didirikan sesuai dengan Perjanjian Asosiasi yang ditandatangani oleh lembaga-lembaga keuangan Islam pada 1 Safar, 1410H berkorespondensi dengan 26 Februari 1990 di Aljazair. Kemudian terdaftar pada tanggal 27 Maret 1991 di Negara Bagian Bahrain. 

Sebagai organisasi internasional yang independen, AAOIFI didukung oleh kelembagaan anggota (200 anggota dari 45 negara, sejauh ini) termasuk bank sentral, lembaga keuangan Islam, dan peserta lain dari industri perbankan islam internasional dan keuangan, di seluruh dunia. 

AAOIFI telah memperoleh dukungan untuk memastikan pelaksanaan standar, yang sekarang diadopsi di Kerajaan Bahrain, Dubai International Financial Centre, Yordania, Lebanon, Qatar, Sudan dan Suriah., yang relevan di Australia, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Kerajaan Arab Saudi, dan Afrika Selatan telah mengeluarkan panduan yang didasarkan pada standar AAOIFI dan pernyataan-pernyataan. 



Tujuan dari AAOIFI adalah: 
  1. Untuk mengembangkan pemikiran akuntansi dan audit yang relevan dengan lembaga-lembaga keuangan Islam; 
  2. Untuk menyebarluaskan pikiran akuntansi dan audit yang relevan dengan lembaga-lembaga keuangan Islam dan penerapannya melalui pelatihan, seminar, penerbitan surat kabar berkala, melaksanakan penelitian dan sarana lainnya; 
  3. Untuk menyiapkan, menyebarkan dan menafsirkan standar akuntansi dan audit untuk lembaga keuangan Islam. 
  4. Untuk meninjau dan mengubah standar akuntansi dan audit untuk lembaga keuangan Islam. 
AAOIFI melaksanakan tujuan tersebut sesuai dengan ajaran syariat Islam yang merupakan sistem yang komprehensif untuk semua aspek kehidupan, sesuai dengan lingkungan di mana institusi keuangan Islam telah berkembang. Kegiatan ini dimaksudkan baik untuk meningkatkan kepercayaan pengguna dari laporan keuangan lembaga keuangan Islam dalam informasi yang dihasilkan tentang lembaga-lembaga ini, dan untuk mendorong para pengguna untuk melakukan investasi atau deposito dana mereka di lembaga keuangan Islam dan untuk menggunakan layanan mereka. 

AAOIFI telah berhasil menyusun beberapa hal, yakni : 
1. Tujuan dan konsep akuntansi keuangan untuk lembaga keuangan 
2. Standar akuntansi untuk lembaga keuangan khususnya bank 
3. Tujuan dan standar auditing untuk lembaga keuangan 
4. Kode etik untuk akuntan dan auditor lembaga keuangan 


3 Standar syariah yang diterbitkan oleh AAOIFI 


1. Perdagangan dalam mata uang. 
2. Debit Card, Charge Card dan Kartu Kredit. 
3. Default di Pembayaran oleh Debitur. 
4. Penyelesaian Utang oleh Set-Off. 
5. Jaminan. 
6. Konversi dari Bank Konvensional Bank Islam. 
7. Hawala. 
8. Murabahah untuk Orderer Pembelian. 
9. Ijarah dan Ijarah Muntahia Bittamleek. 
10. Salam dan Paralel Salam. 
11. Paralel Istisna'a dan Istisna'a. 
12. Sharika (Musyarakah) dan Modern Korporasi. 
13. Mudharabah. 
14. Documentary Credit. 
15. Jua'la. 
16. Commercial Papers. 
17. Investasi Sukuk. 
18. Kepemilikan (Qabd). 
19. Pinjaman (Qardh). 
20. Komoditas di Pasar terorganisir. 
21. Keuangan Papers (Saham dan Obligasi). 
22. Concession Contracts. 
23. Agency. 
24. Pembiayaan sindikasi. 
25. Kombinasi Kontrak. 
26. Islamic Insurance. 
27. Indeks. 
28. Layanan Perbankan. 
29. Etika dan ketentuan untuk fatwa. 
30. Monetisasi (Tawarruq) 
31. Gharar Ketentuan dalam Transaksi Keuangan 
32. Arbitrase 
33. Waqf 
34. Ijarah pada Buruh (Individu) 
35. Zakat





Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI tentang Lembaga keuangan Syariah (LKS)
Fatwa yaitu sebuah keputusan atau nasihat  resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya. Fatwa dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai suatu keputusan tentang persoalan ijtihadiyah yang terjadi di Indonesia guna dijadikan pegangan pelaksanaan ibadah umat islam di Indonesia.
*Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Seputar keuangan dan Perbankan Syariah.
FATWA No.04 : MURABAHAH
Menimbang :
a. bahwa masyarakat banyak memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual beli.
b. bahwa dalam rangka membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, bank syari’ah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang
memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
c. bahwa oleh karena itu, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang Murabahah untuk dijadikan pedoman oleh bank syari’ah.
Mengingat :
1. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di
antaramu”.
2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275:
"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…."
3. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
4. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 280:
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan”
5. Hadis Nabi SAW.:
Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka." (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu
Hibban).
6. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).
8. Hadis Nabi riwayat jama’ah:
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman”
9. Hadis Nabi riwayat Nasa’i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
10. Hadis Nabi riwayat `Abd al-Raziq dari Zaid bin Aslam:
“Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya.”
11. Ijma' Mayoritas ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara Murabahah (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz 2, hal. 161; lihat pula al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, juz 5 Hal. 220-222).
12. Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Memutuskan :
Pertama : Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah:
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Kedua : Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut
mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka
a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Ketiga : Jaminan dalam Murabahah:
1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Keempat : Utang dalam Murabahah:
1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika
nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.
Kelima : Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keenam : Bangkrut dalam Murabahah:
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.

FATWA No.05 : JUAL BELI SALAM
Menimbang :
a. bahwa jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu, disebut dengan salam, kini telah melibatkan pihak perbankan;
b. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang salam untuk dijadikan pedoman oleh lembaga keuangan syari’ah.
Mengingat :
1. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 282:
"Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis...".
2. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
 “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
3. Hadis Nabi saw.:
 “Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, serta dinilai shahih oleh Ibnu
Hibban).
4. Hadis riwayat Bukhari dari Ibn 'Abbas, Nabi bersabda:
"Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas,untuk jangka waktu yang diketahui" (HR. Bukhari, Sahih al-Bukhari [Beirut: Dar al-Fikr, 1955], jilid 2, h. 36).
5. Hadis Nabi riwayat jama’ah:
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”
6. Hadis Nabi riwayat Nasa’i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:
 “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
7. Hadis Nabi riwayat Tirmizi:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).
8. Ijma. Menurut Ibnul Munzir, ulama sepakat (ijma’) atas kebolehan jual beli dengan cara salam. Di samping itu, cara tersebut juga diperlukan oleh masyarakat (Wahbah, 4/598).
9. Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Memutuskan :
Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua : Ketentuan tentang Barang:
1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Ketiga : Ketentuan tentang Salam Paralel
Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat, akad kedua terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama.
Keempat : Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:
1. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
2. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
3. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
4. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan
harga.
5. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
a. membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
b. menunggu sampai barang tersedia.
Kelima : Pembatalan Kontrak:
Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.
Keenam : Perselisihan:
Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

FATWA No.06 : JUAL BELI ISTISHNA'
Menimbang :
a. bahwa kebutuhan masyarakat untuk memperoleh sesuatu, sering memerlukan pihak lain untuk membuatkannya, dan hal seperti itu dapat dilakukan melalui jual beli istishna’, yaitu akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’);
b. bahwa transaksi istishna’ pada saat ini telah dipraktekkan oleh lembaga keuangan syari’ah.
c. bahwa agar praktek tersebut sesuai dengan syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang istishna’ untuk menjadi pedoman.
Mengingat :
1. Hadis Nabi riwayat Tirmizi:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).
2. Hadis Nabi:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR, Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri).
3. Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
4. Menurut mazhab Hanafi, istishna’ hukumnya boleh (jawaz) karena hal itu telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya.
Memutuskan :
Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua : Ketentuan tentang Barang:
1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5. Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Ketiga : Ketentuan Lain:
1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’.
3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

FATWA No.07 : PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan dana lembaga keuangan syari’ah (LKS), pihak LKS dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain dengan cara mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku
pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak;
b. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang mudharabah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat :
1. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di
antaramu…”.
2. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
3. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283:
“…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.
4. Hadis Nabi riwayat Thabrani:
“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak
membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
5. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
6. Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
7. Hadis Nabi:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR, Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri).
8. Ijma. Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu
dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/838).
9. Qiyas. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
10. Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Memutuskan :
Pertama : Ketentuan Pembiayaan:
1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga.
Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.
Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan:
1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Ketiga : Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:
1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.
3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran
kesepakatan.
4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

FATWA No.08 : PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
Menimbang :
a. bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan dana dari pihak lain, antara lain melalui pembiayaan musyarakah, yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan;
b. bahwa pembiayaan musyarakah yang memiliki keunggulan dalam kebersamaan dan keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun resiko kerugian, kini telah dilakukan oleh lembaga keuangan syari’ah (LKS);
c. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang musyarakah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.



Mengingat :
1. Firman Allah QS. Shad [38]: 24:
"…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini…."
2. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
3. Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW
berkata:
“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).
4. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
5. Taqrir Nabi terhadap kegiatan musyarakah yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu.
6. Ijma’ Ulama atas keboleh musyarakah.
7. Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Memutuskan :
Beberapa Ketentuan:
1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
3. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a. Modal
1) Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal
berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
2) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
3) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.
b. Kerja
1) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
2) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
c. Keuntungan
1) Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
2) Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
3) Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
4) Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
d. Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
4. Biaya Operasional dan Persengketaan
a. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

FATWA No.09 : PEMBIAYAAN IJARAH
Menimbang :
a. bahwa kebutuhan masyarakat untuk memperoleh manfaat suatu barang sering memerlukan pihak lain melalui akad ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrag), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri;
b. bahwa kebutuhan masyarakat untuk memperoleh jasa pihak lain guna melakukan pekerjaan tertentu melalui akad ijarah dengan pembayaran upah (ujrah/fee);
c. bahwa kebutuhan akan ijarah kini dapat dilayani oleh lembaga keuangan syari’ah (LKS) melalui akad pembiayaan ijarah;
d. bahwa agar akad tersebut sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang akad ijarah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat :
1. Firman Allah QS. al-Zukhruf [43]: 32:
“Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 233:
“…Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
3. Firman Allah QS. al-Qashash [28]: 26:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”
4. Hadis riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
5. Hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id
al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”
6. Hadis riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
“Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan
emas atau perak.”
7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
8. Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa.
9. Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
“Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.”
Memutuskan :
Pertama : Rukun dan Syarat Ijarah:
1. Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2. Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna jasa.
3. Obyek akad ijarah adalah :
a. manfaat barang dan sewa; atau
b. manfaat jasa dan upah.
Kedua : Ketentuan Obyek Ijarah:
1. Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3. Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7. Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
8. Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
Ketiga : Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah
1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
a. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan
b. Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c. Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
2. Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:
a. Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai kontrak.
b. Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
c. Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Keempat : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

FATWA No.12 : H A W A L A H
Menimbang :
a. bahwa terkadang seseorang tidak dapat membayar utangutangnya secara langsung; karena itu, ia boleh memindahkan penagihannya kepada pihak lain, yang dalam hukum Islam disebut dengan hawalah, yaitu akad pengalihan utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)-nya;
b. bahwa akad hawalah saat ini bisa dilakukan oleh LKS;
c. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang hawalah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat :
1. Hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
“Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah” (HR. Bukhari).
2. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
3. Ijma. Para ulama sepakat atas kebolehan akad hawalah.
4. Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” “Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.”


Memutuskan :
Pertama : Ketentuan Umum dalam Hawalah:
1. Rukun hawalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih, yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhal bih, yakni utang muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
4. Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
5. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
6. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

refuse to lose