Makalah Akuntansi
Syariah
PSAK
Akuntansi Syariah, Auditing Organization for Islamic Financial Institutions
(AAOIFI), Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
Sabtu, 17 Mei 2014

Yusriati Alifah
Akuntansi smt 4
PSAK Akuntansi Syariah
Laporan Keuangan Syariah adalah suatu laporan keuangan
yang dibuat oleh entitas syariah untuk digunakan sebagai pembanding baik dengan
laporan keuangan sebelumnya atau laporan keuangan lainnya. Laporan keuangan
yang lengkap terdiri dari :
a. Neraca
b. Laporan
Laba Rugi
c. Lapaoran
Arus Kas
d. Laporan
Perubahan Equitas
e.Laporan
Sumber dan Penggunaan Dana Zakat
f. Laporan
Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan
g. Catatan
Atas Laporan Keuangan
Prinsip universalisme dalam PSAK 101 terdapat pada
ruang lingkupnya dimana laporan keuangan dapat digunakan untuk kebutuhan
bersama bagi semua pihak yang berkepentingan yang melakukan transaksi syariah.
Hal ini sesuai dengan PSAK 101 Prgf.4 : Laporan keuangan bagi tujuan umum
adalah laporan keuangan yang ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan bersama
sebagian besar pengguna laporan. Laporan keuangan bagi tujuan umum termasuk
juga laporan keuangan yang disajikan terpisah atau yang disajikan dalam dokumen
publiklainnya seperti laporan tahunan/prospektus.Pernyataan ini berlaku pula
untuk laporan keuangan konsolidasian.
Prinsip
universalisme juga terlihat pada Laporan Sumber Dan Penggunaan Dana Zakat. PSAK
101 Prgf. 71 menyatakan bahwa Zakat adalah sebagian harta yang wajib
dikeluarkan oleh wajib zakat dan diserahkan kepada penerima zakat . Pembayaran
zakat dilakukan apabila nisab dari harta yang memenuhi kriteria wajib zakat.
Laporan Sumber Dan Penggunaan Dana Kebajikan seperti
pada PSAK 101 Prgf.75 juga menyatakan bahwa adanya penerimaan dari infaq,
sedekah, denda yang diperoleh dari nasabah untuk diberikan kepada penerima dana
kebajikan. Hal ini menjelaskan bahwa dengan adanya zakat, infaq, denda,
sedekah prinsip universalisme dapat terlihat dimana semua orang muslim yang
mempunyai harta berlebih wajib mengeluarkan zakat tanpa terkecuali sebagaimana
juga dijelaskan dalam Al-Qur’an. Begitupun dengan nasabah yang melakukan
kesalahan/ kelalaian usaha tanpa terkecuali wajib membayar denda dan diserahkan
kepada yang wajib menerimanya.
Transaksi perbankan syariah juga dapat dilakukan
dengan mata uang asing/ orang berkebangsaan asing tanpa terkecuali. Hal ini
menunjukan adanya prinsip universalisme dalam transaksi perbankan syariah.
Seperti pada PSAK 101 Prgf. 87 yang menyatakan bahwa Untuk setiap jenis
instrumen pendanaan dalam mata uang asing, entitas syarah harus mengungkapkan
informasi berikut ini :
a.
karakteristik umum dari setiap instrumen pendanan termasuk informasi mengenai
nisbah bagi hasil/ margin/ ujroh dan nama pemodal.
b. nilai
Prgfminal dalam mata uang asing, jangka waktu, tanggal jatuh tempo, jadwal
angsuran dan pembayaran.
c. dasar konversi menjadi efek lain jika instrumen
pendanaan dapat dikonversi.
d. nilai kurs yang digunakan pada tanggal neraca
e. jaminan
f. hal penting lainnya.
1.
PSAK 102 (Akuntansi Murabahah)
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan harga
jual sebesar biaya perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual
harus mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli (PSAK 102
Prgf 5). Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan/ tanpa pesanan.
Murabahah dilakukan oleh pihak-pihak yang berkaitan
seperti adanya pihak penjual dan pihak pembeli yang melakuakan transaksi
syariah yang juga diatur dalam PSAK 102 secara keseluruhan. Hal ini terdapat
dalam PSAK 102 Prgf2 : Pernyataan ini diterapkan untuk:
(a) lembaga
keuangan syariah dan koperasi syariah yang melakukan transaksi murabahah baik
sebagai penjual maupun pembeli; dan
(b)
pihak-pihak yang melakukan transaksi murabahah dengan lembaga keuangan syariah
atau koperasi syariah.
Penjualpun
memiliki kewajiban dalam transaksi murabahah seperti yang tercantum dalam PSAK
102 Prgf 21 : Kewajiban penjual kepada pembeli atas pengembalian diskon
pembelian akan tereliminasi pada saat:
(a)
dilakukan pembayaran kepada pembeli sebesar jumlah potongan setelah dikurangi
dengan biaya pengembalian; atau
(b)
dipindahkan sebagai dana kebajikan jika pembeli sudah tidak dapat dijangkau
oleh penjual.
Hal ini menyatakan bahwa semua penjual tanpa
terkecuali memiliki kewajiban- kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan
PSAK tersebut.
Pembeli dalam murabahah tanpa terkecuali jika
melakukan kesalahan/ kelalaian akan dikenakan denda sesuai dengan akad. PSAK
102 Prgf.35 : Denda yang dikenakan akibat kelalaian dalam melakukan
kewajiban sesuai dengan akad diakui sebagai kerugian.
Semua transaksi murabahah, dimana penjual memberikan
potongan uang muka kepada pembeli namun di akhir perjanjian akad tersebut batal
maka potongan uang muka tersebut diakui sebagai kerugian. Hal ini dijelaskan
dalam PSAK 102 Prgf 36 : Potongan uang muka akibat pembeli akhir batal membeli
barang diakui sebagai kerugian.
2.
PSAK 103 (Akuntansi Salam)
PSAK
103 Prgf. 1 : Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran,
penyajian dan pengungkapan transaksi salam. PSAK 103 Prgf.2 : Pernyataan ini
diterapkan untuk entitas yangmelakukan transaksi salam, baik sebagai penjual
ataupembeli. PSAK 103 Prgf. 4 : Salam adalah akad jual beli barang pesanan
(muslam fiih) dengan pengiriman di kemudian hari oleh penjual (muslam illaihi)
dan pelunasannya dilakukan oleh pembelipada saat akad disepakati sesuai dengan
syarat-syarattertentu. Hal ini menjelaskan bahwa semua pihak yang
berkepentingan tanpa terkecuali dapat melakukan akad salam sesuai dengan
PSAK 103.
PSAK 103 Prgf. 14 : Denda yang diterima oleh pembeli
di akui sebagai bagian dana kebajikan. Hal ini menunjukan bahwa denda tersebut
ditujukan untuk pihak penerima dana kebajikan secara menyeluruh. Dana denda
juga berasal dari pihak yang lalai dalam melakukan kewajibannya, hal ini
ditujukan kepada semua pihak yang berkepentingan dalam transaksi salam.
Bagi penjual apabila pembeli telah memberikan modal
usahanya maka diakui sebagai kewajiban salam dimana besarnya sesuai dengan
modal yang diterima. Hal ini terdapat dalam PSAK 103 Prgf. 17 : Kewajiban
salam diakui pada saat penjual menerima modal usaha salam sebesar modal usaha
salam yang diterima.
3.
PSAK 104 (Akuntansi Istishna)
PSAK 104 Prgf. 5 : Istishna adalah akad jual beli
dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual. Hal ini
menunjukan bahwa istishna dapat dilakukan oleh dan untuk semua pihak yang
berkepentingan tanpa membedakan apapun.
PSAK 104 Prgf 6 : Berdasarkan akad istishna’, pembeli
menugaskan penjual untuk menyediakan barang pesanan (mashnu’) sesuai
spesifikasi yang disyaratkan untuk diserahkan kepada pembeli, dengan cara
pembayaran dimuka atau tangguh. Semua penjual dalam transaksi istishna
diharuskan untuk menyediakan barang sesuai dengan karakteristik pesanan pembeli
jika pembeli tersebut telah membayar uang muka atau uang tangguh.
Akad istishna akan selesai apabila proses
pembuatan barangnya telah selesai dan telah diserahkan kepada pembeli seperti
yang terdapat dalam PSAK 104 Prgf. 17 : ……… Akad selesai adalah jika proses
pembuatan barang pesanan selesai dan diserahkan kepada pembeli.
4.
PSAK 105 (Akuntansi Mudharabah
PSAK 105
Prgf. 4 : Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama/ pemilik dana menyediakan seluruh dana sedangkan pihak kedua/ pengelola
dana bertindak sebagai pengelola dan keuntungan dibagi diantara mereka sesuai
kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana. Hal
ini menunjukan bahwa semua pihak yang berkepentingan dapat berperan sebagai
pihak pemilik dana dan pengelola dana dalam akad mudharabah.
Jika pengelola dana melakukan kelalaian dalam
transaksi mudharabah diakui sebagai kerugian dan diakui sebagai beban pengelola
dana. Terdapat dalam PSAK 105 Prgf 30 : Kerugian yang diakibatkan oleh
kesalahan atau kelalaian pengelola dana diakui sebagai beban pengelola dana.
Semua pemilik dana juga wajib membuat penyajian
laporan keuangan seperi pada PSAK 105 Prgf 36 : Pemilik dana menyajikan
investasi mudharabah dalam laporan keuangan sebesar nilai tercatat.
Semua pengelola dana dalam transaksi mudaharabah wajib
menyajikan transaksi mudharabah dalam laporan keuangannya seperti yang
tercantum dalam PSAK 105 Prgf 37: Pengelola dana menyajikan transaksi
mudharabah dalam laporan keuangan :
a. Dana syirkah temporer dari pemilik dana
disajikan sebesar nilai tercatatnya untuk setiap jenis mudharabah ;
b. Bagi
hasil dana syirkah temporer yang sudah diperhitungkan tetapi belum diserahkan
kepada pemilik dana disajikan sebagai pos bagi hasil yang belum dibagikan di
kewajiban.
5.
PSAK 106 (Akuntansi Musyarakah)
PSAK 106
Prgf. 4 : Musyarakah adalah akad kerjasama antara 2 pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan
kerugian berdasarkan kontribusi dana. Dana tersebut meliputi kas atau aset
Prgfn kas yang diperkenankan oleh syariah. Hal ini menunjukan bahwa semua pihak
yang berkepentingan dapat melakukan akad musyarakah.
Dalam transaksi musyarakah, semua pihak baik bank
maupun pengelola wajib mengeluarkan dana modal untuk melakukan usaha
musyarakah. Oleh karena itu jika terjadi kerugian ditanggung oleh kedua pihak
tersebut sesuai dengan porsi dana masing-masing. Sesuai dengan PSAK 106 Prgf 24
: Kerugian investasi musyarakah diakui sesuai dengan porsi dana masing-masing
mitra dan mengurangi nilai aset musyarakah.
Akan tetapi jika kerugian terjadi akibat kelalaian
pengelola usaha maka kerugian tersebut hanya ditanggung oleh pengelola usaha
tersebut. Tercantuh dalam PSAK 106 Prgf 25 : Jika kerugian akibat kelalaian
atau kesalahan mitra aktif atau pengelola usaha, maka kerugian tersebut
ditanggung oleh mitra aktif atau pengelola usaha musyarakah.
Semua mitra aktif juga wajib melakukan pelaporan
keuangan seperti pada PSAK 106 Prgf 35 : Mitra aktif menyajikan hal-hal sebagai
berikut yang terkait dengan usaha musyarakah dalam laporan keuangan:
(a) Kas atau
aset nonkas yang disisihkan oleh mitra aktif dan yang diterima dari mitra pasif
disajikan sebagai investasi musyarakah;
(b) Aset
musyarakah yang diterima dari mitra pasif disajikan sebagai unsur dana syirkah
temporer untuk;
(c) Selisih penilaian aset musyarakah, bila ada,
disajikan sebagai unsur ekuitas.
Semua mitra
pasif juga wajib menyajikan laporan keuangan tanpa terkecuali seperti pada PSAK
106 Prgf 36 : Mitra pasif menyajikan hal-hal sebagai berikut yang terkait
dengan usaha musyarakah dalam laporan keuangan:
(a) Kas atau
aset nonkas yang diserahkan kepada mitra aktif disajikan sebagai investasi
musyarakah;
(b)
Keuntungan tangguhan dari selisih penilaian asset nonkas yang diserahkan pada
nilai wajar disajikan sebagai pos lawan (contra account) dari investasi
musyarakah.
6.
PSAK 107 (Akuntansi Ijarah)
PSAK 107 Prgf.4 : Ijarah adalah akad pemindahan hak
guna/ manfaat atas suatu assets dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Sewa yang
dimaksud adalah sewa operasi/ operating lease. PSAK 107 Prgf. 5 : Ijarah
merupakan sewa menyewa obyek ijarah tanpa pemindahan resiko dan manfaat yang
terkait dengan pemindahan aset terkait, dengan atau tanpa wa’ad untuk
memindahkan kepemilikan dari pemilik kepada penyewa pada saat tertentu. Hal ini
menunjukan bahwa akad ijarah dapat dilakukan oleh semua pihak(pemilik aset dan
penyewa) yang berkepentingan tanpa terkecuali.
Semua keuntungan dan kerugian tidak diakui sebagai
pengurang atau penambah beban ijarah seperti pada PSAK 107 Prgf 27 : Keuntungan
atau kerugian yang timbul dari transaksi jual dan ijarah tidak dapat diakui
sebagai pengurang atau penambah beban ijarah.
7.
PSAK 108 (Akuntansi Transaksi Asuransi Syariah)
PSAK 108 Prgf. 7 :
Asuransi syariah adalah sistem menyeluruh yang pesertanya mendonasikan sebagian
atau seluruh kontribusinya yang digunakan untuk membayar klaim atas resiko
tertentu akibat musibah pada jiwa, badan, atau benda yang dialami peserta yang
berhak. Donasi tersebut merupakan donasi dengan syarat tertentu dan merupakan
milik peserta secara kolektif bukan merupakan pendapatan entitas pengelola. Hal
ini menunjukan bahwa semua pihak yang berkepentingan tanpa terkecuali dapat
menjadi peserta asuransi syariah.
Dalam asuransi syariah memiliki prinsip dasar
sebagaimana dalam PSAK 108 Prgf 8 : Prinsip dasar dalam asuransi syariah adalah
saling tolong menolong (ta’awuni) dan saling menanggung (takafuli) antara
sesama peserta asuransi.
PSAK 108 Prgf 13 : Dana peserta adalah semua dana baik
berupa dana tabarru’ maupun dana investasi (Dana peserta tersebut mencakup
semua dana peserta asuransi syariah tanpa terkecuali).
Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI)
Akuntansi dan Auditing Organization for Islamic
Financial Institutions (AAOIFI) adalah organisai internasional Islam non-badan
hukum nirlaba yang menyiapkan standar akuntansi, audit, pemerintahan, etika dan
standar Syariat Islam lembaga keuangan dan industri. Program kualifikasi
profesional (terutama CIPA, Penasihat syariat dan Auditor "CSAA", dan
program kepatuhan perusahaan) yang disajika oleh AAOIFI dalam upaya untuk
meningkatkan sumber daya manusia industri dasar dan struktur
pemerintahan.
AAOIFI didirikan sesuai dengan Perjanjian Asosiasi
yang ditandatangani oleh lembaga-lembaga keuangan Islam pada 1 Safar, 1410H
berkorespondensi dengan 26 Februari 1990 di Aljazair. Kemudian terdaftar pada
tanggal 27 Maret 1991 di Negara Bagian Bahrain.
Sebagai organisasi internasional yang independen,
AAOIFI didukung oleh kelembagaan anggota (200 anggota dari 45 negara, sejauh
ini) termasuk bank sentral, lembaga keuangan Islam, dan peserta lain dari
industri perbankan islam internasional dan keuangan, di seluruh dunia.
AAOIFI telah memperoleh dukungan untuk memastikan pelaksanaan
standar, yang sekarang diadopsi di Kerajaan Bahrain, Dubai International
Financial Centre, Yordania, Lebanon, Qatar, Sudan dan Suriah., yang relevan di
Australia, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Kerajaan Arab Saudi, dan Afrika
Selatan telah mengeluarkan panduan yang didasarkan pada standar AAOIFI dan
pernyataan-pernyataan.
Tujuan dari AAOIFI adalah:
- Untuk mengembangkan pemikiran akuntansi dan audit yang relevan dengan lembaga-lembaga keuangan Islam;
- Untuk menyebarluaskan pikiran akuntansi dan audit yang relevan dengan lembaga-lembaga keuangan Islam dan penerapannya melalui pelatihan, seminar, penerbitan surat kabar berkala, melaksanakan penelitian dan sarana lainnya;
- Untuk menyiapkan, menyebarkan dan menafsirkan standar akuntansi dan audit untuk lembaga keuangan Islam.
- Untuk meninjau dan mengubah standar akuntansi dan audit untuk lembaga keuangan Islam.
AAOIFI melaksanakan tujuan tersebut sesuai dengan
ajaran syariat Islam yang merupakan sistem yang komprehensif untuk semua aspek
kehidupan, sesuai dengan lingkungan di mana institusi keuangan Islam telah
berkembang. Kegiatan ini dimaksudkan baik untuk meningkatkan kepercayaan
pengguna dari laporan keuangan lembaga keuangan Islam dalam informasi yang
dihasilkan tentang lembaga-lembaga ini, dan untuk mendorong para pengguna untuk
melakukan investasi atau deposito dana mereka di lembaga keuangan Islam dan
untuk menggunakan layanan mereka.
AAOIFI telah berhasil menyusun beberapa hal, yakni
:
1. Tujuan dan konsep akuntansi keuangan untuk lembaga keuangan
2. Standar akuntansi untuk lembaga keuangan khususnya
bank
3. Tujuan dan standar auditing untuk lembaga
keuangan
4. Kode etik untuk akuntan dan auditor lembaga
keuangan
3 Standar
syariah yang diterbitkan oleh AAOIFI
1. Perdagangan dalam mata uang.
2. Debit Card, Charge Card dan Kartu Kredit.
3. Default di Pembayaran oleh Debitur.
4. Penyelesaian Utang oleh Set-Off.
5. Jaminan.
6. Konversi dari Bank Konvensional Bank Islam.
7. Hawala.
8. Murabahah untuk Orderer Pembelian.
9. Ijarah dan Ijarah Muntahia Bittamleek.
10. Salam dan Paralel Salam.
11. Paralel Istisna'a dan Istisna'a.
12. Sharika (Musyarakah) dan Modern Korporasi.
13. Mudharabah.
14. Documentary Credit.
15. Jua'la.
16. Commercial Papers.
17. Investasi Sukuk.
18. Kepemilikan (Qabd).
19. Pinjaman (Qardh).
20. Komoditas di Pasar terorganisir.
21. Keuangan Papers (Saham dan Obligasi).
22. Concession Contracts.
23. Agency.
24. Pembiayaan sindikasi.
25. Kombinasi Kontrak.
26. Islamic Insurance.
27. Indeks.
28. Layanan Perbankan.
29. Etika dan ketentuan untuk fatwa.
30. Monetisasi (Tawarruq)
31. Gharar Ketentuan dalam Transaksi Keuangan
32. Arbitrase
33. Waqf
34. Ijarah pada Buruh (Individu)
35. Zakat
Fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) MUI tentang Lembaga keuangan Syariah (LKS)
Fatwa
yaitu sebuah keputusan atau nasihat
resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui
otoritasnya. Fatwa dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai suatu
keputusan tentang persoalan ijtihadiyah yang terjadi di Indonesia guna
dijadikan pegangan pelaksanaan ibadah umat islam di Indonesia.
*Fatwa
Dewan Syariah Nasional (DSN) Seputar keuangan dan Perbankan Syariah.
FATWA
No.04 : MURABAHAH
Menimbang
:
a. bahwa masyarakat
banyak memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip
jual beli.
b. bahwa dalam rangka
membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan
berbagai kegiatan, bank syari’ah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang
memerlukannya, yaitu
menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
c. bahwa oleh karena
itu, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang Murabahah untuk dijadikan
pedoman oleh bank syari’ah.
Mengingat
:
1. Firman Allah QS.
al-Nisa’ [4]: 29:
“Hai
orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela
di
antaramu”.
2. Firman Allah QS.
al-Baqarah [2]: 275:
"Dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…."
3. Firman Allah QS.
al-Ma’idah [5]: 1:
“Hai
orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
4. Firman Allah QS.
al-Baqarah [2]: 280:
“Dan
jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan”
5. Hadis Nabi SAW.:
Dari
Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli
itu harus dilakukan suka sama suka." (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah,
dan dinilai shahih oleh Ibnu
Hibban).
6. Hadis Nabi riwayat
Ibnu Majah:
“Nabi
bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum
dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR.
Ibnu Majah dari Shuhaib).
7. Hadis Nabi riwayat
Tirmidzi:
“Perdamaian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram” (HR. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).
8. Hadis Nabi riwayat
jama’ah:
“Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman”
9. Hadis Nabi riwayat
Nasa’i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:
“Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
10. Hadis Nabi riwayat
`Abd al-Raziq dari Zaid bin Aslam:
“Rasulullah
SAW. ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau
menghalalkannya.”
11. Ijma' Mayoritas
ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara Murabahah (Ibnu Rusyd, Bidayah
al-Mujtahid, juz 2, hal. 161; lihat pula al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, juz
5 Hal. 220-222).
12. Kaidah fiqh:
“Pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
Memutuskan :
Pertama :
Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah:
1. Bank dan nasabah
harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang
diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
3. Bank membiayai
sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati
kualifikasinya.
4. Bank membeli barang
yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan
bebas riba.
5. Bank harus
menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian
dilakukan secara utang.
6. Bank kemudian menjual
barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli
plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga
pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar
harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang
telah disepakati.
8. Untuk mencegah
terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat
mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9. Jika bank hendak
mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad
jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip,
menjadi milik bank.
Kedua :
Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
1. Nasabah mengajukan
permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
2. Jika bank menerima
permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya
secara sah dengan pedagang.
3. Bank kemudian
menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima
(membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum
janji tersebut
mengikat; kemudian kedua
belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4. Dalam jual beli ini
bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani
kesepakatan awal pemesanan.
5. Jika nasabah kemudian
menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka
tersebut.
6. Jika nilai uang muka
kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta
kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7. Jika uang muka
memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka
a. jika nasabah
memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b. jika nasabah batal
membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung
oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah
wajib melunasi kekurangannya.
Ketiga :
Jaminan dalam Murabahah:
1. Jaminan dalam
murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
2. Bank dapat meminta
nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Keempat : Utang
dalam Murabahah:
1. Secara prinsip,
penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan
transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut.
Jika
nasabah menjual kembali
barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk
menyelesaikan utangnya kepada bank.
2. Jika nasabah menjual
barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi
seluruh angsurannya.
3. Jika penjualan barang
tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya
sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau
meminta kerugian itu diperhitungkan.
Kelima :
Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
1. Nasabah yang memiliki
kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
2. Jika nasabah
menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syari’ah
setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
Keenam :
Bangkrut dalam Murabahah:
Jika nasabah telah
dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan
utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
FATWA
No.05 : JUAL BELI SALAM
Menimbang
:
a. bahwa jual beli
barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan
syarat-syarat tertentu, disebut dengan salam, kini telah melibatkan
pihak perbankan;
b. bahwa agar cara
tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan
fatwa tentang salam untuk dijadikan pedoman oleh lembaga keuangan
syari’ah.
Mengingat
:
1. Firman Allah QS.
al-Baqarah [2]: 282:
"Hai
orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu
tertentu, buatlah secara tertulis...".
2. Firman Allah QS.
al-Ma’idah [5]: 1:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad
itu….”
3. Hadis Nabi saw.:
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW
bersabda, ‘Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR.
al-Baihaqi dan Ibnu Majah, serta dinilai shahih oleh Ibnu
Hibban).
4. Hadis riwayat Bukhari
dari Ibn 'Abbas, Nabi bersabda:
"Barang
siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran
yang jelas dan timbangan yang jelas,untuk jangka waktu yang diketahui" (HR.
Bukhari, Sahih al-Bukhari [Beirut:
Dar al-Fikr, 1955], jilid 2, h. 36).
5. Hadis Nabi riwayat
jama’ah:
“Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”
6. Hadis Nabi riwayat
Nasa’i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan
oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
7. Hadis Nabi riwayat
Tirmizi:
“Perdamaian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram” (Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).
8. Ijma. Menurut Ibnul
Munzir, ulama sepakat (ijma’) atas kebolehan jual beli dengan cara salam.
Di samping itu, cara tersebut juga diperlukan oleh masyarakat (Wahbah, 4/598).
9. Kaidah fiqh:
“Pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
Memutuskan :
Pertama :
Ketentuan tentang Pembayaran:
1. Alat bayar harus
diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2. Pembayaran harus
dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3. Pembayaran tidak
boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua :
Ketentuan tentang Barang:
1. Harus jelas
ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2. Harus dapat
dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahannya
dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat
penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5. Pembeli tidak boleh
menjual barang sebelum menerimanya.
6. Tidak boleh menukar
barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Ketiga :
Ketentuan tentang Salam Paralel
Dibolehkan melakukan salam
paralel dengan syarat, akad kedua terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan
akad pertama.
Keempat :
Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:
1. Penjual harus
menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah
disepakati.
2. Jika penjual
menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh
meminta tambahan harga.
3. Jika penjual
menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela
menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
4. Penjual dapat
menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat
kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh
menuntut tambahan
harga.
5. Jika semua atau
sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih
rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
a. membatalkan kontrak
dan meminta kembali uangnya,
b. menunggu sampai
barang tersedia.
Kelima :
Pembatalan Kontrak:
Pada dasarnya pembatalan
salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.
Keenam :
Perselisihan:
Jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan
melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
FATWA
No.06 : JUAL BELI ISTISHNA'
Menimbang
:
a. bahwa kebutuhan
masyarakat untuk memperoleh sesuatu, sering memerlukan pihak lain untuk
membuatkannya, dan hal seperti itu dapat dilakukan melalui jual beli istishna’,
yaitu akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’)
dan penjual (pembuat, shani’);
b. bahwa transaksi istishna’
pada saat ini telah dipraktekkan oleh lembaga keuangan syari’ah.
c. bahwa agar praktek
tersebut sesuai dengan syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa
tentang istishna’ untuk menjadi pedoman.
Mengingat
:
1. Hadis Nabi riwayat
Tirmizi:
“Perdamaian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram” (HR. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).
2. Hadis Nabi:
“Tidak
boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR,
Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri).
3. Kaidah fiqh:
“Pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
4. Menurut mazhab
Hanafi, istishna’ hukumnya boleh (jawaz) karena hal itu telah dilakukan
oleh masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang
mengingkarinya.
Memutuskan :
Pertama :
Ketentuan tentang Pembayaran:
1. Alat bayar harus
diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2. Pembayaran dilakukan
sesuai dengan kesepakatan.
3. Pembayaran tidak
boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua :
Ketentuan tentang Barang:
1. Harus jelas ciri-cirinya
dan dapat diakui sebagai hutang.
2. Harus dapat
dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahannya
dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat
penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5. Pembeli (mustashni’)
tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6. Tidak boleh menukar
barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
7. Dalam hal terdapat
cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar
(hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Ketiga :
Ketentuan Lain:
1. Dalam hal pesanan
sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
2. Semua ketentuan dalam
jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli
istishna’.
3. Jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua
belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
FATWA
No.07 : PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)
Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka
mengembangkan dan meningkatkan dana lembaga keuangan syari’ah (LKS), pihak LKS
dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain dengan cara mudharabah,
yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik,
shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil,
mudharib, nasabah) bertindak selaku
pengelola, dan
keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak;
b. bahwa agar cara
tersebut dilakukan sesuai dengan syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan
fatwa tentang mudharabah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat
:
1. Firman Allah QS.
al-Nisa’ [4]: 29:
“Hai
orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
sukarela di
antaramu…”.
2. Firman Allah QS.
al-Ma’idah [5]: 1:
“Hai
orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
3. Firman Allah QS.
al-Baqarah [2]: 283:
“…Maka,
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.
4. Hadis Nabi riwayat
Thabrani:
“Abbas
bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan
kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak
menuruni lembah, serta tidak
membeli
hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika
persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.”
(HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
5. Hadis Nabi riwayat
Ibnu Majah dari Shuhaib:
“Nabi
bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum
dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR.
Ibnu Majah dari Shuhaib).
6. Hadis Nabi riwayat
Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”
7. Hadis Nabi:
“Tidak
boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR,
Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri).
8. Ijma. Diriwayatkan,
sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim
sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal
itu
dipandang sebagai ijma’
(Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/838).
9. Qiyas. Transaksi mudharabah
diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
10. Kaidah fiqh:
“Pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
Memutuskan :
Pertama :
Ketentuan Pembiayaan:
1. Pembiayaan Mudharabah
adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha
yang produktif.
2. Dalam pembiayaan ini
LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek
(usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau
pengelola usaha.
3. Jangka waktu usaha,
tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
4. Mudharib boleh
melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan
syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek
tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5. Jumlah dana
pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6. LKS sebagai penyedia
dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib
(nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
7. Pada prinsipnya,
dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak
melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak
ketiga.
Jaminan ini hanya dapat
dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang
telah disepakati bersama dalam akad.
8. Kriteria pengusaha,
prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan
memperhatikan fatwa DSN.
9. Biaya operasional
dibebankan kepada mudharib.
10. Dalam hal penyandang
dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap
kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah
dikeluarkan.
Kedua : Rukun
dan Syarat Pembiayaan:
1. Penyedia dana
(sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan
qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan
penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari
penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan
secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara
komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah
uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk
tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui
jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk
uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka
aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat
berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap
maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah
adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan
berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan
bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan
proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu
kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-tungan
sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana
menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh
menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja,
kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh
pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh
penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah
hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia
mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak
boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi
tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh
menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan
mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Ketiga :
Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:
1. Mudharabah boleh
dibatasi pada periode tertentu.
2. Kontrak tidak boleh
dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu
terjadi.
3. Pada dasarnya, dalam
mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah
(yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian,
atau pelanggaran
kesepakatan.
4. Jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua
belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
FATWA
No.08 : PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
Menimbang
:
a. bahwa kebutuhan
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan dana
dari pihak lain, antara lain melalui pembiayaan musyarakah, yaitu pembiayaan
berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan;
b. bahwa pembiayaan
musyarakah yang memiliki keunggulan dalam kebersamaan dan keadilan, baik dalam
berbagi keuntungan maupun resiko kerugian, kini telah dilakukan oleh lembaga
keuangan syari’ah (LKS);
c. bahwa agar cara
tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam, DSN memandang
perlu menetapkan fatwa tentang musyarakah untuk dijadikan pedoman oleh
LKS.
Mengingat
:
1. Firman Allah QS. Shad
[38]: 24:
"…Dan
sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari
mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan
amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini…."
2. Firman Allah QS.
al-Ma’idah [5]: 1:
“Hai
orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
3. Hadis riwayat Abu
Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW
berkata:
“Allah
swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama
salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak
telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan
oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).
4. Hadis Nabi riwayat
Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”
5. Taqrir Nabi terhadap
kegiatan musyarakah yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu.
6. Ijma’ Ulama atas
keboleh musyarakah.
7. Kaidah fiqh:
“Pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
Memutuskan :
Beberapa Ketentuan:
1. Pernyataan ijab dan
qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan
penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari
penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan
secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara
komunikasi modern.
2. Pihak-pihak yang
berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kompeten dalam
memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b. Setiap mitra harus
menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai
wakil.
c. Setiap mitra memiliki
hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
d. Setiap mitra memberi
wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap
telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan
kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e. Seorang mitra tidak
diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya
sendiri.
3. Obyek akad (modal,
kerja, keuntungan dan kerugian)
a. Modal
1) Modal yang diberikan
harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari
aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal
berbentuk aset, harus
terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
2) Para pihak tidak
boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah
kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
3) Pada prinsipnya,
dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari
terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.
b. Kerja
1) Partisipasi para
mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi,
kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh
melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh
menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
2) Setiap mitra
melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya.
Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
c. Keuntungan
1) Keuntungan harus
dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada
waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
2) Setiap keuntungan
mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan
tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
3) Seorang mitra boleh
mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau
prosentase itu diberikan kepadanya.
4) Sistem pembagian
keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
d. Kerugian
Kerugian harus dibagi di
antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
4. Biaya Operasional dan
Persengketaan
a. Biaya operasional
dibebankan pada modal bersama.
b. Jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
FATWA
No.09 : PEMBIAYAAN IJARAH
Menimbang
:
a. bahwa kebutuhan
masyarakat untuk memperoleh manfaat suatu barang sering memerlukan pihak lain
melalui akad ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu
barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrag), tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri;
b. bahwa kebutuhan
masyarakat untuk memperoleh jasa pihak lain guna melakukan pekerjaan tertentu
melalui akad ijarah dengan pembayaran upah (ujrah/fee);
c. bahwa kebutuhan akan ijarah
kini dapat dilayani oleh lembaga keuangan syari’ah (LKS) melalui akad
pembiayaan ijarah;
d. bahwa agar akad
tersebut sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa
tentang akad ijarah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat
:
1. Firman Allah QS.
al-Zukhruf [43]: 32:
“Apakah
mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian
mereka
atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan.”
2. Firman Allah QS.
al-Baqarah [2]: 233:
“…Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan
ketahuilah
bahwa
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
3. Firman Allah QS.
al-Qashash [28]: 26:
“Salah
seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk
bekerja
(pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”
4. Hadis riwayat Ibn
Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
“Berikanlah
upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
5. Hadis riwayat ‘Abd
ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id
al-Khudri, Nabi s.a.w.
bersabda:
“Barang
siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”
6. Hadis riwayat Abu
Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
“Kami
pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah
melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya
dengan
emas
atau perak.”
7. Hadis Nabi riwayat
Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”
8. Ijma ulama tentang
kebolehan melakukan akad sewa menyewa.
9. Kaidah fiqh:
“Pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
“Menghindarkan
mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.”
Memutuskan :
Pertama : Rukun
dan Syarat Ijarah:
1. Sighat Ijarah, yaitu
ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad
(berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2. Pihak-pihak yang
berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna jasa.
3. Obyek akad ijarah
adalah :
a. manfaat barang dan
sewa; atau
b. manfaat jasa dan
upah.
Kedua :
Ketentuan Obyek Ijarah:
1. Obyek ijarah adalah
manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2. Manfaat barang atau
jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3. Manfaat barang atau
jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
4. Kesanggupan memenuhi
manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
5. Manfaat harus
dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan)
yang akan mengakibatkan sengketa.
6. Spesifikasi manfaat
harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali
dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7. Sewa atau upah adalah
sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran
manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula
dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
8. Pembayaran sewa atau
upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek
kontrak.
9. Kelenturan (flexibility)
dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan
jarak.
Ketiga :
Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah
1. Kewajiban LKS sebagai
pemberi manfaat barang atau jasa:
a. Menyediakan barang
yang disewakan atau jasa yang diberikan
b. Menanggung biaya
pemeliharaan barang.
c. Menjamin bila
terdapat cacat pada barang yang disewakan.
2. Kewajiban nasabah
sebagai penerima manfaat barang atau jasa:
a. Membayar sewa atau
upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya
sesuai kontrak.
b. Menanggung biaya
pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
c. Jika barang yang
disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga
bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak
bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Keempat : Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
FATWA
No.12 : H A W A L A H
Menimbang
:
a. bahwa terkadang
seseorang tidak dapat membayar utangutangnya secara langsung; karena itu, ia
boleh memindahkan penagihannya kepada pihak lain, yang dalam hukum Islam
disebut dengan hawalah, yaitu akad pengalihan utang dari satu pihak yang
berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)-nya;
b. bahwa akad hawalah
saat ini bisa dilakukan oleh LKS;
c. bahwa agar cara
tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan
fatwa tentang hawalah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat
:
1. Hadis riwayat Bukhari
dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
“Menunda-nunda
pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka,
jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan)
kepada pihak yang mampu, terimalah” (HR. Bukhari).
2. Hadis Nabi riwayat
Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram.”
3. Ijma. Para ulama
sepakat atas kebolehan akad hawalah.
4. Kaidah fiqh:
“Pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.” “Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.”
Memutuskan :
Pertama
:
Ketentuan Umum dalam Hawalah:
1. Rukun hawalah adalah muhil,
yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal,
yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih, yakni orang yang
berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhal
bih, yakni utang muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
2. Pernyataan ijab dan
qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad).
3. Akad dituangkan
secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi
modern.
4. Hawalah dilakukan
harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
5. Kedudukan dan
kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
6. Jika transaksi
hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal
‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
Kedua : Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
refuse to lose